AIDS & Queer di Indonesia Menelusuri jejak HIV dan respon komunitas queer melalui materi arsip Queer Indonesia Archive

Sebelum kematian pertama akibat AIDS di Indonesia diumumkan, desas-desus dan ketakutan akan virus HIV sudah menyebar melalui media massa. Karena minimnya respon pemerintah saat itu, kelompok LGBTQ+ berinisiatif untuk mengomunikasikan risiko penularan dan bahaya virus ini secara mandiri.

Pameran ini menampilkan cerita yang hadir selama dua dekade pertama epidemi HIV di Indonesia dan siasat yang dilakukan oleh komunitas queer untuk menghadapinya. Materi-materi dalam pameran dipilih untuk mewakili respon-respon penting komunitas dari berbagai daerah. Kami berharap, rangkaian kisah yang kami tampilkan bisa memberi gambaran tentang untaian sukacita, daya tangguh dan harapan dalam sejarah HIV yang sarat kematian, kekerasan dan perjuangan.

Artikel Tempo tentang masuknya AIDS ke Indonesia, 29 Oktober 1983

Artikel ‘AIDS, Selamat Datang di Indonesia’ yang dimuat Tempo pada 29 Oktober 1983 adalah salah satu liputan pertama tentang HIV di Indonesia. Menuliskan AIDS sebagai penyakit kaum homoseksual, artikel ini merekam penelitian pertama yang berkaitan dengan HIV di Indonesia oleh Dr. Zubairi Djoerban.

Dr. Djoerban memeriksa kesehatan 30 waria* yang tinggal di sekitar Pasar Rumput, Jakarta dalam penelitian ini.

Istilah waria dipakai dalam pameran untuk merefleksikan penggunaannya di komunitas pada masa itu. Saat ini, banyak komunitas memilih untuk mengganti istilah waria dengan transpuan.

Gambar: Tempo, 29 Oktober 1993

Pemilihan kelompok waria sebagai subyek penelitian oleh Dr. Djoerban tidak lepas dari asumsi (saat itu) bahwa virus ini hanya menginfeksi orang-orang dengan perilaku homoseksual.

Pada tahun 1983, alat tes antibodi untuk mendeteksi virus HIV belum tersedia. Dalam penelitiannya, Dr. Djoerban menggunakan indikator gejala dan jumlah sel darah. 2 dari 30 waria didiagnosa positif HIV dalam rangkaian pemeriksaan. Sayangnya, keterbatasan alat membuat sampel darah tidak bisa disimpan. Penelitian lanjutan tidak bisa dilakukan dan hasil positif tersebut tidak bisa dikonfirmasi keakuratannya.

Pemberitaan tentang penelitian ini menguatkan persepsi publik bahwa HIV dan queer punya kaitan erat.

Artikel Tempo tentang kematian terkait HIV di Indonesia, 5 April 1986

Dalam artikel di atas, Tempo melaporkan kematian seorang perempuan 25 tahun yang didiagnosa terinfeksi HIV (diduga) dari transfusi darah yang diterimanya. Kematian ini tercatat sebagai yang pertama akibat HIV di Indonesia. Namun, berbeda dengan pemberitaan media tentang HIV pada kelompok gay dan waria, kasus ini tidak mendapat banyak perhatian. Kasus ini juga tidak pernah diumumkan secara resmi sebagai kematian akibat HIV, baik oleh Menteri Kesehatan atau Departemen Kesehatan RI.

Salah satu artikel Tempo yang bernada menghakimi, Tempo, 5 April 1986

Dalam pemberitaan media arus utama di Indonesia, kelompok gay dan waria dianggap sebagai pihak yang bertanggung jawab atas penyebaran HIV. Berita yang mengandalkan sensasi dan skandal di koran-koran dan majalah-majalah memicu pelabelan HIV sebagai penyakit penyimpangan seksual dan gender.

Di akhir 80-an, komunitas queer mulai mengorganisasi gerakan untuk melawan stigma dan prasangka terkait HIV yang ditujukan pada mereka.

Gambar: Tempo, 12 April 1986

Setelah Palang Merah Indonesia (PMI) menyatakan akan melarang orang homoseksual untuk mendonorkan darah, beberapa waria melakukan protes di depan Markas Unit Tranfusi Darah PMI, Jakarta. Mami Myrna Saud, salah satu aktivis kelompok waria dan pemimpin protes, menentang pernyataan bahwa waria adalah pembawa penyakit ini. Myrna juga menekankan pada semakin banyaknya pengucilan dan penstigmaan terhadap kelompok waria akibat pernyataan tersebut.

Artikel Tempo tentang protes waria di kantor PMI, 12 April 1986

Bersamaan dengan berita-berita yang menegaskan stigma terhadap kelompok homoseksual dan waria, HIV juga sering ditampilkan sebagai ancaman yang dibawa ke Indonesia melalui industri pariwisata.

Ilustrasi-ilustrasi tentang HIV/AIDS dan pariwisata (1985-1987)

Bali sebagai salah satu tujuan pariwisata utama di Indonesia adalah objek pemberitaan yang sering dibahas di media. Artikel-artikel mereka mengaitkan kasus HIV dengan gay bar, pekerja seks dan turis kulit putih. Sentimen dalam tulisan-tulisan tersebut menyiratkan bahwa HIV adalah virus asing, kaukasian dan tidak perlu ditakuti kecuali kalau Anda adalah seorang homoseksual.

Artikel Tempo tentang HIV dan pariwisata di Bali, 12 April 1986

Di akhir 80-an, selain artikel di koran dan majalah, narasi-narasi yang dipakai oleh industri hiburan turut ambil peran dalam menyebarkan ketakutan dan misinformasi seputar isu HIV di Indonesia.

Gambar sampul VCD AIDS Phobia, 1986

Dirilis tahun 1986, AIDS Phobia adalah film fiksi panjang yang dibuat berdasarkan artikel-artikel Tempo tentang HIV di Indonesia. Film ini bercerita tentang perempuan cis-hetero yang positif HIV sesudah menerima transfusi darah. Film ditutup dengan menampilkan judul headline majalah yang sensasional tentang HIV dan adegan intim antara laki-laki tua Indonesia dengan laki-laki turis kulit putih; lagi-lagi mengaitkan HIV dengan homoseksualitas.

Stigmatisasi melalui narasi media ini menjadi makin buruk ketika, di tahun 1987, Departemen Kesehatan Indonesia mengumumkan kematian seorang gay dari Belanda yang tinggal di Bali sebagai kematian pertama (versi pemerintah) akibat HIV di Indonesia.

Pemberitaan media tentang kematian tersebut menguatkan kembali anggapan bahwa HIV adalah sesuatu yang asing, dekat dengan homoseksualitas, dan (bisa jadi) hukuman atas dosa.

Gambar: kolase artikel Tempo, 25 April 1987

Artikel tentang kematian Edward G. Hop, Tempo, 25 April 1987

Karena lambannya tanggapan dan aksi dari pemerintah pusat dan Departemen Kesehatan, tidak banyak sumber informasi—salah satu dari sedikit sumber itu adalah media massa—tentang HIV yang bisa diakses publik. Narasi publik tentang HIV banyak dipengaruhi oleh media-media sensasional. Artikel mereka seringkali ditulis ulang atau diadaptasi dari pemberitaan-pemberitaan homofobik dan transfobik di Amerika Serikat yang membuat stigma dan diskriminasi terhadap komunitas gay dan waria semakin besar.

Komunitas gay mulai memproduksi dan mendistribusikan media mereka sendiri untuk merespon ketiadaan informasi HIV yang berperspektif queer dan makin meluasnya homofobia/transfobia.

Gambar: kolase daftar isi Jaka (1985-1989)

GAYa NUSANTARA dan Jaka adalah dua majalah komunitas pertama yang memuat artikel seputar HIV dengan perspektif dari komunitas. Dua majalah tersebut menyediakan informasi alternatif di tengah wacana media arus utama yang bertendensi menyerang gay dan waria atas pandemi HIV.

Gambar sampul edisi pertama Jaka, 1985

Diinisiasi oleh Persaudaraan Gay Yogyakarta (PGY), Jaka terbit pertama kali tahun 1985. Edisi pertama memuat rubrik “Sebaiknya Anda Tahu” yang dipakai untuk memberi informasi tentang HIV/AIDS. Artikel dalam rubrik ini dipakai juga untuk menanggapi kekhawatiran komunitas yang muncul akibat pesan-pesan homofobik tentang AIDS di media massa.

Sebaiknya Anda Tahu, Jaka #1 and #5, 1985

Bersamaan dengan kepanikan dan ketakutan yang muncul akibat pemberitaan media arus utama, beberapa anggota komunitas bahkan mulai percaya bahwa homoseksual adalah pembawa HIV. Hal ini membuat mereka mempertanyakan kembali orientasi seksual mereka. Jaka merespon kekhawatiran ini dengan memuat tulisan-tulisan bantahan atas prasangka dan misinformasi tentang HIV/AIDS. Artikel-artikel Jaka dibuat untuk menjadi pengingat bahwa HIV bukanlah penyakit homoseksual. Dalam kolom yang sama, mereka juga menuliskan langkah-langkah yang bisa dilakukan untuk menghindari virus ini.

Di edisi pertamanya yang dirilis tahun 1987, GAYa NUSANTARA berfokus pada strategi pencegahan HIV. Majalah ini adalah salah satu media pertama yang memuat anjuran untuk memakai kondom dan melakukan tes HIV. GAYa NUSANTARA dipublikasikan oleh Kelompok Kerja Lesbian dan Gay Nusantara (KKLGN) yang berbasis di Surabaya.

‘Berita dan Ulasannya’, GAYa NUSANTARA #1, 1987

Mendekati akhir tahun 80-an, kelompok independen yang peduli isu HIV bekerja sama dengan GAYa NUSANTARA untuk memproduksi brosur pertama HIV/AIDS khusus komunitas. Distribusi brosur, rencananya, dilakukan dengan bantuan Persekutuan dan Pelayanan Injil Metropolitan (PPIM—gereja ramah LGBTQ di Jakarta) sebelum gereja PPIM menarik diri dari program.

Brosur yang diproduksi oleh kelompok independen dengan bantuan GAYa NUSANTARA ini diadaptasi dari materi-materi yang dibuat oleh AIDS Committee Toronto (Kanada), Victorian AIDS Council (Australia) dan Gay Men Health’s Centre (Amerika Serikat). Materi-materi tersebut dikompilasi menggunakan bahasa sehari-hari dan bahasa cong supaya lebih dekat dengan komunitas. Sayangnya, QIA belum menemukan salinan asli dari obyek penting ini—kalau Kamu memiliki foto atau salinannya dan berkenan berbagi dengan QIA, bisa hubungi kami lewat email, ya :)

Brosur yang didaptasi untuk majalah, GAYa Nusantara #12, 1990

Distribusi brosur ini difokuskan pada komunitas gay dan waria yang bekerja dan bersosialisasi di sekitar Lapangan Banteng, Jakarta. GAYa NUSANTARA mengadaptasi brosur ini dalam bentuk rubrik majalah dan memuatnya di edisi #4 (sebagai suplemen) dan #12 untuk menjangkau lebih banyak anggota komunitas.

Jumlah organisasi LGBTQ+ terus berkembang. Pada awal tahun 90-an, jaringan yang berisi organisasi komunitas, klub sosial, salon dan ruang-ruang aman lain memulai beragam program untuk mendukung aktivisme pro-LGBTQ+ dan menyampaikan informasi seputar HIV & kesehatan seksual.

Bertumbuhnya jaringan komunikasi dan majalah-majalah queer menjadi salah satu yang mendorong lebih solidnya respon komunitas terhadap HIV.

Gambar: kolase dari poster ilustrasi dari edisi-edisi GAYa NUSANTARA, Buku Seri IPOOS and K-79 tahun 90-an,

Karena populernya majalah komunitas, rubrik surat pembaca menjadi saluran pertama yang memberi ruang tanya jawab dan diskusi tentang beragam isu—salah satunya tentang HIV & kesehatan seksual. Di kolom yang bisa diakses oleh publik ini, pembaca bisa meminta saran, menyampaikan pendapat/kegelisahan atau bertanya tentang hal-hal yang berkaitan dengan HIV. Tidak jarang, beberapa pemimpin organisasi memakainya untuk memberi kabar tentang program-program HIV & kesehatan seksual yang sudah mereka lakukan.

Surat Pembaca dari majalah Jaka, GAYa NUSANTARA, 1985-1989

Paraikatte (yang kemudian berganti menjadi Media KIE GAYa Celebes), majalah dari Makassar yang dirilis tahun 1994, menyediakan rubrik hotline untuk tanya jawab dan menyampaikan pengumuman bernama ‘AIDS Line’. Seperti namanya, kolom ini dikhususkan untuk hal-hal yang berkaitan dengan HIV & kesehatan seksual. Pengurus dan anggota GAYa Celebes—dibentuk tahun 1993–menjadi pengasuh rubrik ini.

AIDS Line, Paraikatte #2 dan #1, 1994

Untuk merespon kebutuhan konseling dan dukungan sebaya yang semakin besar, Yayasan Hotline Service Surya didirikan tahun 1992. Para pengurus yayasan ini sudah berpengalaman mengasuh hotline tertulis—yang berfokus pada isu HIV—sejak tahun 1989 melalui Harian Surya, sebuah surat kabar harian dari Surabaya.

Setelah Hotline Surya didirikan, KKLGN melakukan kerja sama dengan mereka untuk memastikan kebutuhan komunitas gay dan waria terakomodasi dalam layanan hotline. Dua lembaga ini menyediakan konselor gay dua kali seminggu. Kita bisa temukan iklan layanan-layanan ini di edisi-edisi GAYa NUSANTARA.

Poster Hotline Surya, GAYa NUSANTARA #20, 1993

Kolaborasi antara organisasi komunitas dengan lembaga hotline HIV adalah sesuatu yang penting di awal tahun 90-an. Perspektif LGBTQ+ diperlukan untuk menciptakan ruang aman dalam lingkungan konseling sehingga wacana yang tidak ramah queer, seperti ‘kembali menjadi heteroseksual atau kembali dengan identitas cis-gender sebagai solusi HIV’, bisa dihindarkan.

Iklan Hotline Mitra Indonesia, Buku Seri IPOOS #12 dan #14, 1994-1995

Didirikan tahun 1993, Yayasan Mitra Indonesia adalah layanan konseling HIV yang juga ramah queer. Beberapa pendiri lembaga ini adalah aktivis yang cukup lama aktif berkegiatan di Ikatan Persaudaraan Orang-Orang Sehati (IPOOS), sebuah organisasi gay pertama di Jakarta.

Hotline Lentera dan GAYa Celebes, Jaka-Jaka #6 (1994) & Media KIE GAYa Celebes #12 (1999)

Layanan hotline serupa juga bisa kita temukan di berbagai daerah lain, seperti Lentera di Yogyakarta, Yayasan Sidikara di Bandung, GAYa Celebes di Makassar dan Unit Pelatihan dan Latihan Epidemiologi Komunitas (UPLEK) Universitas Udayana di Bali.

Iklan hotline lain, Buku Seri IPOOS Juli 97 & K-79 #2, 1993

Untuk memastikan terakomodasinya ruang aman bagi LGBTQ+ dalam layanan mereka, hotline-hotline ini merekrut sukarelawan dari komunitas atau bekerja sama dengan organisasi yang didirikan oleh komunitas di masing-masing daerah. Dalam proses promosi layanan dan program penjangkauan, mereka juga berkolaborasi dengan organisasi komunitas lintas daerah—salah satunya dengan pemasangan iklan di majalah yang mereka kelola.

Di tahun 90-an, pendekatan yang dipakai untuk mengomunikasikan HIV masih berubah-ubah. Informasi tentang virus masih belum pasti, begitu pula status epidemi HIV di Indonesia yang masih belum bisa dipetakan. Di awal tahun 90-an, pengobatan dengan antiretroviral (ARV) pun belum bisa diakses secara gratis. Energi dan fokus komunitas, saat itu, dipakai untuk mempromosikan pencegahan HIV dan penyediaan dukungan bagi ODHIV.

Media KIE GAYa Celebes #4, 95

Poster menjadi salah satu media yang banyak dipakai untuk kampanye seks aman.

Gambar: sukarelawan Yayasan Citra Usadha Indonesia, Bali di depan poster-poster HIV, sekitar tahun 1998

Adaptasi kampanye oleh Victorian AIDS Council, 1990 ke poster di Buku Seri IPOOS #7, 1993

Awalnya, organisasi dan majalah komunitas melakukan adaptasi materi dari lembaga-lembaga di Australia, Kanada dan Amerika Serikat ke dalam poster-poster kampanye seks aman mereka. Namun, seiring berjalannya waktu, komunitas menyadari perlunya membuat materi yang bisa diterima oleh anggotanya dan masyarakat di Indonesia secara umum.

Poster seks aman, Buku Seri Ipoos #12 & #13, 1994

Materi-materi visual yang menggambarkan aktivitas seks, terlebih yang melibatkan kelompok LGBTQ+, masih diterima sebagai sesuatu yang tabu di Indonesia. Kelompok-kelompok dari komunitas mencari siasat untuk menyampaikan pesan tanpa harus mengompromikan prinsip ramah komunitas. K79, majalah yang diinisiasi oleh Gaya Pandanaran di Semarang, dan Media KIE dari Makassar memilih memuat gambar-gambar ilustratif dan menggunakan gaya gambar komik dalam poster-poster HIV mereka.

Poster untuk meningkatkan kesadaran tentang HIV/AIDS

GAYa NUSANTARA memakai pendekatan yang lebih asyik dan kasual. Mereka memadukan ilustrasi dengan slogan-slogan provokatif, sesekali disertai bahasa-bahasa slang dan cong.

Iklan Seks Aman, GAYa NUSANTARA #17 & #15, 1991-1992

Mereka juga berusaha untuk menormalisasi penggunaan kondom dan membuat kampanyenya tidak membosankan. Untuk membuat visualnya lebih menarik, mereka memakai personifikasi kondom dan penis dalam ilustrasi-ilustrasi yang dimuat di GAYa NUSANTARA.

Bicara tentang isu kondom di konteks Indonesia, banyak perdebatan yang mengiringi. Pada awal kemunculannya, kondom dikenalkan sebagai alat kontrasepsi untuk mencegah kehamilan. Saat itu, penggunaannya dibatasi hanya pada pasangan yang sudah menikah.

Gambar: kolase dari berbagai ilustrasi kondom di GAYa NUSANTARA, 1990-1996

Awalnya, kondom hanya tersedia melalui program Keluarga Berencana (KB). Bahkan, di awal tahun 90-an, stok kondom masih sangat terbatas. Pemerintah pun tidak menganjurkan penggunaannya bagi pasangan yang belum menikah. Sampai tahun 1994, pemerintah menghindari isu kesehatan seksual dalam kampanye penggunaan kondom mereka demi menjaga nama baik program KB.

Karena kurangnya informasi yang tersedia bagi publik dan aksesnya yang terbatas, banyak anggota komunitas merasa enggan atau tidak nyaman untuk mulai memakai kondom. Ilustrasi cara penggunaan kondom dimuat di berbagai publikasi (majalah, poster, brosur, dll) untuk mengenalkan kembali kondom ke komunitas. Demonstrasi penggunaan kondom (dengan alat peraga) juga dilakukan di program-program edukasi HIV yang mereka lakukan.

Artikel tentang kondom latex dan isunya, Tempo, 10 August, 1991

Masalah lain yang muncul di periode ini adalah akses terbatas ke pelicin/pelumas kondom (berbasis air). Lotion badan, baby oil dan pelicin/pelumas berbasis minyak lain lebih sering dipakai karena bisa dibeli bebas. Saat itu, belum banyak anggota komunitas yang paham tentang risiko penggunaan pelumas yang tidak dibuat khusus/kompatibel dengan kondom.

Informasi dan iklan pelicin kondom, Buku Seri IPOOS #12 & #14, 1994-1995

Di akhir tahun 90-an, kondom mulai banyak dikenal oleh anggota komunitas. Stoknya pun tersedia di lebih banyak tempat. Pada 1997, IPOOS bekerja sama dengan Sutra, salah satu merk kondom di Indonesia, mengadakan lomba slogan kondom. Kompetisi ini dimaksudkan untuk membuat komunikasi kondom menjadi lebih relevan bagi komunitas gay.

Kompetisi slogan kondom, Buku Seri IPOOS, Nov 97

LSM-LSM yang bergerak di isu HIV muncul pertama kali pada awal tahun 90-an; kelompok kerja Lentera adalah salah satunya. Kelompok kerja ini diinisiasi tahun 1993 oleh PKBI Yogyakarta. Lentera aktif membuat kampanye kesehatan seksual, lokakarya dan acara untuk komunitas. Mereka dikenal karena kampanye-kampanye interaktif yang mereka buat, seperti penggunaan media hiburan untuk menyebarkan informasi tentang HIV.

Stiker kampanye kondom dan HIV oleh Lentera

Dalam menjalankan program-program terkait HIV, kelompok seperti Lentera merekrut sukarelawan & staff dari anggota komunitas. Pengalaman dan pengetahuan sukarelawan & staff dalam kerja-kerja di komunitas dibutuhkan untuk membuat program-program organisasi lebih relevan.

Selepas bekerja di isu-isu HIV dan advokasi komunitas, beberapa sukarelawan dan staff Lentera melanjutkan karya mereka dengan mendirikan organisasi berbasis komunitas lain, seperti Yayasan Kebaya oleh Mami Vin dan Yayasan Vesta Indonesia oleh Anto.

Gambar: Pelatihan Pendamping Sebaya Lentera di Kaliurang, Yogyakarta. 1994 est.

Pada tahun 1994, Lentera bekerja sama dengan Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerbitan Yogyakarta (LP3Y) mengadakan lokakarya penulisan HIV bagi wartawan. Hasil dari lokakarya ini adalah buku panduan memahami HIV, salah satu panduan ramah komunitas pertama di Indonesia. Selain Lentera, Marcel L dari IPOOS juga membuat modul GAY KEREEEN yang diadaptasi dari ‘Gay Now, Play Safe’, buku program pencegahan HIV dan peningkatan kepercayaan diri gay yang dibuat oleh Victorian AIDS Council, Australia.

Kelompok-kelompok yang lebih lama berdiri, seperti KKLGN, juga aktif menggagas pertemuan dengan kelompok gay dan waria dari berbagai daerah. Jejaring ini melahirkan beberapa organisasi komunitas yang berfokus di isu HIV, salah satunya adalah GAYa Celebes (berdiri tahun 1993).

pertemuan dan diskusi kelompok sebaya, Media KIE GAYa Celebes, 2000

Di Bali, Yayasan Citra Usadha Indonesia (YCUI) merekrut anggota komunitas gay dan waria sebagai pendamping sebaya untuk program pencegahan HIV mereka. Pada 14 Februari 1992, sukarelawan & staff dari dua komunitas tersebut mendirikan kelompok GAYa DEWATA, organisasi LGBTQ+ pertama di Bali yang bergerak di isu-isu HIV.

Program penjangkauan di Buleleng, Bali. 1996 est.

Untuk menjangkau audiens yang lebih luas, program edukasi dan entertainment (edutainment) banyak dipakai dalam kampanye HIV. Dengan edutainment, organisasi bisa menyampaikan pesan pencegahan HIV dan seks aman melalui beragam seni pertunjukan yang dekat dengan masyarakat—seperti wayang, tari-tarian, kontes kecantikan, opera, dan ludruk.

GAYa Celebes banyak menggelar panggung edutainment di tahun pertamanya. Selain malam disko, fashion show dan kontes kecantikan, mereka juga mengadakan pertunjukan yang melibatkan kelompok opera waria bernama Sensasi Dolls. Program-program menjadi agenda rutin organisasi. Salah satu kontes kecantikan yang bertahan hingga tahun 2000-an adalah Pemilihan Waria Cantik Peduli AIDS.

Miss Waria Peduli AIDS, Media KIE GAYa Celebes, 1999-2000

Kontes kecantikan dan pemilihan duta organisasi juga populer di Bali. Tahun 1993, GAYa DEWATA mengadakan kontes kecantikan khusus waria bernama Putri Kebaya. Tahun 1996, pemilihan Raka dan Rai Gaya Dewata diadakan untuk pertama kalinya. Partisipan dari kedua acara ini diwajibkan memiliki pengetahuan yang komprehensif seputar HIV/AIDS dan kesehatan seksual. Mereka juga dinilai berdasarkan keterlibatan dan kepemimpinan mereka dalam kerja-kerja di komunitas.

Pemilihan Raka Rai, Bali, 1996

Teater tradisional juga menjadi salah satu acara yang ditunggu banyak orang. Di Yogyakarta, Lentera mengadaptasi pertunjukan wayang wong untuk menceritakan isu-isu HIV ke masyarakat. Hal serupa dilakukan juga di Jakarta, kontes kecantikan dan pertunjukan kabaret rutin digelar oleh IPOOS.

Wayang Wong, Lentera.
Pertunjukan Jaka Tarub IPOOS, Buku Seri IPOOS #9, 1993

Dalam perjalanannya, kelompok-kelompok ini tidak hanya berfungsi sebagai tempat mengedukasi diri. Orang-orang di dalamnya menemukan ruang aman untuk berbagi rasa, pikiran dan dukungan. Kekeluargaan seperti ini penting, khususnya bagi orang-orang yang hidup dengan HIV (ODHIV). Stigma dan diskriminasi di sekitar mereka membuat para ODHIV sering merasa sendiri dan kesepian sampai akhir hidupnya.

IPOOS adalah salah satu organisasi berbasis kekeluargaan yang menyediakan dukungan bagi anggotanya yang ODHIV. Salah satu ceritanya bisa kita jumpai dalam tesis Richard Howard.

Cerita tentang Aron, anggota IPOOS yang hidup dengan HIV/AIDS, tesis Richard Howards ‘Falling Into the Gay World,’ 1997

Stigma dan ketakutan akan HIV seringkali membuat orang-orang yang berjuang melawan HIV ditinggalkan dan dilupakan. Oleh karenanya, penting untuk mengupayakan keberlanjutan advokasi isu sambil terus menciptakan ruang untuk mendukung anggota komunitas yang hidup dengan HIV dan mengenang orang-orang yang meninggal karena HIV.

Malam Tirakatan Mengenang Korban-Korban AIDS pertama kali diadakan pada bulan Mei 1991. KKLGN dan Persatuan Waria Kotamadya Surabaya (Perwakos)—perkumpulan waria pertama di Surabaya—mengorganisasi acara ini untuk mengenang orang-orang yang meninggal karena HIV dan menunjukkan dukungan kepada para ODHIV.

Gambar: Poster of MRAN oleh GAYa Celebes, Paraikatte #2, 1994

Event ini juga membuka diskusi tentang diskriminasi dan stigma terhadap kelompok marginal, seperti komunitas LGBTQ+, pekerja seks dan ODHIV. Di malam doa ini, semua orang yang bersinggungan dengan HIV dan isu-isunya dipersilakan hadir. Mereka diajak untuk saling bergandeng tangan, membagi kasih dan dukungan.

MRAN 1996 di Surabaya, GAYa NUSANTARA #47, 1997

Di tahun 1993, nama Malam Tirakatan Mengenang Korban-Korban AIDS berganti menjadi Malam Renungan AIDS Nusantara (MRAN). Sejak saat itu, acara ini mulai rutin diadakan di berbagai daerah lain di Indonesia.

MRAN oleh GAYa Dewata in Bali, 2001

Sesudah 1995, pengorganisasian MRAN mulai melibatkan organisasi-organisasi non LGBTQ+ yang juga mengadvokasi isu HIV. Dengan semakin banyaknya daerah yang mengadakan malam peringatan ini, semakin banyak pula orang yang turut menyumbangkan doa dan pikiran bagi mereka yang meninggal karena HIV.

Sepanjang tahun 90-an, Indonesia mengadakan tiga kali Kongres Lesbian dan Gay Indonesia (KLGI). Para pengurus organisasi/kelompok lesbian dan gay dari seluruh daerah di Indonesia berkumpul dan berjejaring. Mereka berbagi informasi dan mendiskusikan strategi & rencana dua tahunan untuk kepentingan komunitas.

Gambar: KLGI I-III, berbagai sumber

KLGI pertama dilakukan di Yogyakarta pada tahun 1993. Kongres ini merumuskan prinsip inklusi dan non diskriminasi yang sebaiknya dijadikan landasan organisasi peserta dalam perancangan program-program HIV. Pertemuan ini juga membahas aspek-aspek teknis program, seperti komunikasi dan Voluntary Counselling and Testing (VCT).

Kongres kedua (1995 di Bandung) dan ketiga (1997 di Bali) juga mengikutsertakan isu pelaksanaan program HIV. Kedua kongres tersebut menggunakan metode lokakarya untuk berbagi pengetahuan tentang pencarian dana, konseling dan bentuk-bentuk dukungan bagi ODHIV.

Upacara pembukaan KLGI III, Bali, 1997

Pada tahun 1994, respon-respon formal terhadap HIV yang dikoordinasi pemerintah Indonesia mulai diinisiasi. Mereka merumuskan strategi nasional dan membentuk Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN). Dalam artikel tanggapan yang dimuat di Kompas, Marcel Lukas dari IPOOS menekankan bahwa respon-respon terpusat yang dilakukan pemerintah harus berjalan selaras dengan kepentingan beragam komunitas yang bersinggungan dengan isu HIV. Marcel juga menyuarakan pentingnya peran organisasi berbasis komunitas dalam kontekstualisasi program dukungan sebaya.

Di rentang tahun 90-an, rumusan ABC (Abstinence, Be faithful, Condoms) dipromosikan pemerintah untuk mengampanyekan pencegahan HIV. Namun, dalam pelaksanaannya, program dan strategi pemerintah waktu itu hanya berkutat pada abstinence (tidak melakukan seks di luar nikah) dan be faithful (peningkatan iman). Tidak banyak program dibuat untuk menormalisasi kondom. Karena kampanye yang tidak imbang ini, penolakan terhadap kampanye penggunaan kondom terjadi di berbagai daerah. Penekanan pada nilai-nilai agama dan keluarga—dipahami sebagai lembaga hasil pernikahan pasangan heteroseksual—juga membuat organisasi gay dan waria teralienasi. Program pencegahan HIV berbasis komunitas yang mereka kembangkan bertahun-tahun tidak terakomodasi dengan baik dalam strategi pusat.

Pembuatan kebijakan pusat yang dilandasi nilai heteronormatif semakin menjauhkan orang LGBTQ+ dari akses ke layanan kesehatan dan pendidikan seksual. Hampir semua layanan kesehatan seksual dan reproduksi waktu itu didesain khusus untuk pasangan heteroseksual. Mirisnya, walaupun komunitas gay dan waria masuk dalam kelompok dengan perilaku risiko tinggi, kebutuhan-kebutuhan mereka tidak mendapat perhatian yang memadai.

Bersamaan dengan jatuhnya rezim orde baru dan transisi ke masa reformasi pasca-1998, kelompok LGBTQ+ mulai menghadapi berbagai ancaman kekerasan. Di tahun 1999, tokoh-tokoh komunitas terpaksa membatalkan pertemuan karena ancaman yang ditujukan kepada mereka. Pembatalan ini membuat mereka memutuskan untuk tidak lagi menyelenggarakan kongres lesbian dan gay.

Pada bulan November 2000, Kerlap-Kerlip Warna Kedaton (KKWK)—acara HIV/AIDS yang diorganisasi Lentera dan Indonesian Gay Society (IGS)—diserang oleh kelompok fundamentalis. Sekitar 600 partisipan acara mengamankan diri ketika 200-an laki-laki melakukan pembubaran paksa dengan senjata. Banyak orang terluka dan barang berharga hilang dalam peristiwa itu.

Gambar: kolase artikel penyerangan KKWK.

Poster KKWK, New Jaka-Jaka #6, 1999

Penyerangan tersebut menjadi headline media-media di Indonesia dengan nada yang campur aduk. Beberapa surat kabar bahkan menuliskannya sebagai pesta seks. 57 orang diperiksa polisi setelah peristiwa tersebut tapi tidak ada yang dibawa ke proses pengadilan. Hal ini menjadi preseden buruk dalam penegakan hukum melawan kekerasan dan penyerangan terhadap orang LGBTQ+.

Press Release dari IGS untuk merespon penyerangan, 2000

Terlepas dari tantangan-tantangan tersebut, organisasi dan acara komunitas terus menjaga nyalanya. Di tahun 2007, kelompok komunitas dari berbagai daerah di Indonesia membentuk jaringan kerja gay dan waria bernama Gaya Warna Lentera Indonesia (GWL-INA). Jaringan ini berfokus pada isu-isu HIV, termasuk pencegahan HIV dan dukungan bagi ODHIV. Dengan masuknya GWL-INA ke dalam kelompok kerja KPAN, suara komunitas bisa diperkuat di level nasional. Berdasarkan data tahun 2015, ada lebih dari 100 organisasi komunitas tergabung dalam jaringan ini.

Daya tangguh, inovasi dan solidaritas terus tampak dalam kerja-kerja komunitas yang bergerak di isu HIV. Walaupun banyak cerita yang mesti kita rayakan dalam sejarah ini, perjuangan melawan HIV di Indonesia masih belum usai. Data terkini menunjukkan bahwa kurang dari 20% ODHIV di Indonesia mendapatkan perawatan, membuat tingkat perawatan ODHIV di Indonesia adalah salah satu yang terendah di dunia. Jumlah infeksi baru berada di angka 46.000 per tahunnya. Kebanyakan dari mereka yang terinfeksi berumur kurang dari 25 tahun. Kematian akibat AIDS pun masih tinggi—38.000 orang per tahun—dan belum ada tanda-tanda penurunan.

Perjuangan demi perjuangan terus dilakukan tanpa lelah oleh komunitas LGBTQ+, tetapi HIV masih saja memakan korban dari komunitas LGBTQ+, khususnya dari kelompok gay, laki-laki biseksual dan waria. Lebih dari itu, masih banyak ODHIV yang berasal dari komunitas yang terisolasi dan terstigmatisasi. Mereka menghabiskan akhir hidup mereka sendiri dan kesepian di bangsal-bangsal rumah sakit.

Kami berharap pameran ini bisa menggambarkan hal-hal luar biasa yang bisa kita capai jika kita bekerja bersama, membangun komunitas dan keluarga, merajut harapan-harapan baru yang tidak kita bayangkan sebelumnya.

Sumber: GAYa NUSANTARA #39, 1995

Queer Indonesia Archive berterima kasih kepada Kamu yang telah bergabung di perjalanan menelusuri salah satu koleksi kami. Silakan cek website kami kalau Kamu tertarik untuk melihat lebih detail materi-materi yang kami tampilkan di pameran ini.

Kami ingin berterima kasih secara khusus kepada Dede Oetomo, Marcel L, Danny Yatim, Idik, Octavery Kamil, Mami Vinolia, Mbak Irma, Andreas, Jean-Pascal Elbaz, Made Efo, Ketut Yasa, John McGlynn, Dr. Zubairi Djoerban dan pihak-pihak lain yang tidak bisa kami sebutkan satu per satu yang untuk waktu, informasi, tenaga dan saran selama persiapan pameran ini. Terima kasih atas segala bentuk dukungan sehingga pameran ini bisa terwujud.

Queer Indonesia Archive adalah sebuah proyek arsip digital yang bertujuan mengoleksi, menjaga, dan menyebarkan material yang menggambarkan kehidupan dan pengalaman queer di Indonesia. Proyek ini dijalankan oleh sukarelawan, berfokus pada komunitas, dan bersifat non-profit.

Jika kamu memiliki pertanyaan tentang konten dari pameran ini atau kamu memiliki arsip (majalah) yang ingin dikontribusikan untuk menjadi koleksi arsip QIA, silahkan menghubungi kami lewat surel di alamat info@qiarchive.org.

Pameran ini merupakan bagian dari rangkaian acara Southeast Asia Cultural Festival (SEAQCF) 2021. Silahkan kunjungi website SEAQCF untuk menyaksikan program-program lainnya, termasuk dua pameran digital kami.

Pameran ini didukung oleh ASEAN SOGIE Caucus dan VOICE Global.
Karya ini dilisensikan di bawah Creative Commons License BY-SA 4.0. Sumber dari materi yang ditampilkan, tetap menjadi hak cipta dari pemegang hak cipta aslinya dan disajikan pada situs ini bukan untuk tujuan profit, melainkan penelitian dan pendidikan. Kami menganggapnya sebagai “penggunaan yang wajar.” Jika kamu ingin materi (milik) kamu dihapus dari pameran ini, silahkan menghubungi QIA. Jika kamu ingin menggunakan materi berhak cipta dari pameran ini untuk tujuan kamu sendiri yang melampaui penggunaan yang wajar, maka kamu harus mendapatkan izin dari pemilik hak cipta.