Jakarta pada dekade 90an – sebuah kota besar yang mengalami pertumbuhan ekonomi pesat tetapi menghadapi maraknya korupsi dan kesenjangan sosial. Orang-orang dari penjuru Indonesia datang ke ibukota untuk mencari masa depan yang lebih baik, kesempatan menjadi kaya, dan–untuk sebagian– merasakan hidup sebagai queer.
Skena queer di Jakarta perlahan-lahan menarik perhatian. Sepanjang dekade 90an, budaya, cara berpakaian, dan bahasa gaul komunitas transpuan, lesbian, dan gay mulai masuk ke media mainstream. Organisasi gay pertama di Jakarta juga didirikan pada dekade ini, satu dari sekian banyak organisasi yang didirikan di penjuru negeri. Anggota organisasi ini aktif memperjuangkan hak dan tempat mereka di masyarakat indonesia, serta bersuara melawan narasi media yang membuat sensasi berlebihan serta menganggap komunitas mereka sebagai skandal.
*Walaupun saat ini istilah "transpuan" dianggap lebih tepat, pameran ini menggunakan istilah "waria" untuk merefleksikan istilah yang digunakan oleh komunitas pada masa ini.
Pameran ini menampilkan potongan kehidupan beberapa anggota komunitas queer yang aktif berkegiatan di masa 90an. Potongan ini dipertunjukkan dengan kesadaran kalau banyak sekali kejadian, tempat, orang, dan cerita-cerita yang tidak ditemukan di pameran ini.
Sebagian besar materi yang ditampilkan di sini berasal dari koleksi pribadi yang disumbangkan oleh orang-orang di komunitas queer Jakarta pada tahun 2020 dan 2021. Materi ini didigitasi dengan bantuan para sukarelawan kami selama masa pandemi. Beberapa materi lain berasal dari media massa, sebagai contoh bagaimana komunitas queer digambarkan oleh media mainstream pada masa itu.
Kami harap pameran ini bisa menginspirasi anggota komunitas yang lain untuk menyumbangkan sejarah, cerita, dan materi yang bisa melengkapi kisah yang belum lengkap ini.
Organisasi LGBTQ+ telah ada jauh sebelum tahun 1990. Pada dekade 60an dan 70an banyak organisasi waria (sekarang transpuan/transgender perempuan) yang didirikan di penjuru negeri. Organisasi-organisasi gay dan lesbian pertama di Indonesia didirikan pada dekade 80an.
Pada dekade 90an, organisasi lelaki gay telah didirikan berbagai kota di penjuru nusantara. Organisasi ini kerap bekerja sama dengan organisasi waria secara erat. Bersama-sama, mereka memainkan peran penting di komunitas, terutama dalam menanggulangi meningkatnya kasus HIV di komunitas dan efek stigma negatif masyarakat.
Ketika kematian pertama terkait AIDS di Indonesia pada tahun 1987 menjadi bahasan media, komunitas LGBTIQ+–terutama komunitas lelaki gay dan waria–menjadi sorotan media massa sebagai topik yang dianggap sensasional, penuh skandal, dan mengkhawatirkan.
Komunitas lelaki gay yang tinggal di kota-kota menjadi topik yang cukup sering diangkat oleh jurnalis tabloid sepanjang era 90an.
Pada edisi ini, Dede Oetomo, salah satu penggagas gerakan gay & lesbian di Indonesia, berusaha untuk memberikan sudut pandang yang lebih seimbang dan akurat tentang kehidupan kelompok gay kepada jurnalis tabloid Jakarta Jakarta.
Jurnalis mengunjungi tempat nongkrong dan pesta untuk mendapatkan “info orang dalam”, kerap gosip dan dugaan disajikan sebagai “fakta” yang menakut-nakuti.
Dua artikel di atas mencoba menebak penyebab terjadinya homoseksualitas pada pria, dengan pendapat dari aktivis dan psikolog. Artikel ini juga menggambarkan kehidupan para kucing, istilah yang berarti "pekerja seks komersial lelaki".
The above two articles speculated the causes of homosexuality in men, with inputs from activists, and psychologists. Also covered is the exploits of kucing (cats), a slang word for male sex workers.
Bahasa yang diciptakan oleh komunitas gay dan waria juga dianggap menarik oleh para jurnalis. Sebagian bahasa cong kemudian dipopulerkan lebih jauh di dalam "Kamus Gaul" oleh Debby Sahertian
Komunitas lesbian juga menjadi objek keingintahuan masyarakat luas. Beberapa tahun sebelum merilis reportase tentang komunitas gay, Tabloid Jakarta-Jakarta juga menerbitkan reportase serupa yang membahas komunitas lesbian.
Artikel yang berjudul Lesbian Purba! ini berisi informasi tentang sejarah lesbian di peradaban barat.
Artikel di atas berisi liputan tentang para lines, sebutan untuk lesbian. "Memakai anting di salah satu telinga" dan "sepasang cincin kembar di tangan kanan dan kiri" dilaporkan sebagai cara lesbian-lesbian di Jakarta untuk mengenali satu sama lain. Tempat pijat dan acara Ladies Night di beberapa diskotek ditulis sebagai tempat para lesbian berkumpul.
Berlawanan dengan liputan penuh skandal untuk gay dan lesbian, Majalah Tempo menerbitkan artikel fitur mendalam sepanjang 11 halaman tentang kehidupan waria di Indonesia pada September 1993. Artikel ini menggambarkan komunitas waria dengan cara yang berbeda.
Fitur ini sebagian besar menggambarkan waria secara positif, dengan fokus ke pembangunan komunitas dan kesuksesan beberapa waria serta tantangan yang dihadapi waria karena diskriminasi dan stigma negatif dari masyarakat.
Artikel ini dibuka dengan profil Adhe Juwita dari Lenong Rumpi, sebuah kelompok teater di Jakarta. Mereka menjadi terkenal secara nasional setelah film dan acara komedi mereka disiarkan di televisi.
Artikel ini juga menggambarkan aktivitas organisasi waria di beberapa kota seperti Yayasan Darma Karya Fantastic Dolls di Jakarta, Perwakos di Surabaya, dan Pekan Olahraga Waria yang diadakan di Yogyakarta pada tahun 1992.
Tetapi, kisah-kisah sukses ini terjadi seiring dengan kenyataan pahit seperti HIV, kerasnya kehidupan waria jalanan, diskriminasi, dan kekerasan yang dihadapi oleh para waria di Indonesia.
Skena kehidupan malam di Jakarta mengalami kejayaan pada dekade 90an. Jika sebelumnya hanya ada sedikit bar dan klab untuk acara-acara komunitas, tiba-tiba ada banyak pilihan tempat: Pressclub, Viola, Tanamur, Topaz, Atlanta, Virgin, Moonlight, Klimaxxx, Stardust, dan Chitras Bar merupakan beberapa contoh klab yang menjadi tempat komunitas berkumpul dan berdansa.
Dua klub yang menguasai skena di masa itu adalah Tanamur dan Press Club. Kedua klub tersebut menantang norma kehidupan malam yang terpisahkan kelas sosial pada saat itu, dengan mengizinkan tamu dari latar belakang yang lebih beragam dibandingkan klub-klub lain. Selain bercengkrama dan bergembira, para tamu waria di Press Club terkenal karena sering memeriahkan lantai dansa dengan penampilan-penampilan dadakan.
Dekade 90an juga saat pertama klub-klub besar menjadi tuan rumah untuk acara queer secara reguler. Pesta kostum, kabaret, dan kontes kecantikan queer diadakan di klub dan diskotek yang menjamur pada masa itu.
Salah satu organisasi tertua yang mengadakan acara-acara ini adalah Ikatan Persaudaraan Orang-Orang Sehati (IPOOS).
Organisasi ini didirikan pada tanggal 13 Juni 1992 sebagai organisasi gay pertama di Jakarta. Diawali dari acara kumpul-kumpul informal di sebuah Rumah Aman untuk gay dari berbagai golongan, termasuk tunawisma dan pekerja seks.
Rumah Paul kemudian menjadi tempat IPOOS didirikan. Pada hari minggu kedua di bulan Juni 1992, sekitar 20 orang berkumpul di ruang duduk Paul dan memutuskan untuk menamakan organisasi baru mereka IPOOS atau Ikatan Persaudaraan Orang-Orang Sehati.
Hubungan erat antara para pendiri IPOOS telah terjalin sebelum organisasi ini resmi didirikan. Pendiri IPOOS, Paul K, seorang pengusaha salon, menjadikan rumahnya sebagai Rumah Aman untuk komunitas. Aturan di rumah tersebut adalah: semua orang boleh datang, tetapi yang ingin tinggal di situ harus produktif (bekerja atau belajar). Sepanjang dekade 90an, ratusan lelaki datang dan pergi dari rumah Paul, mereka mencari tempat berlindung dari berbagai kesulitan di hidup mereka, baik kesulitan ekonomi maupun sosial.
IPOOS tumbuh menjadi organisasi multifungsi yang bergerak di bidang hiburan, advokasi kesehatan seksual, dan pembangunan komunitas.
Tanggal 13 Juni menjadi hari perayaan, hari saat para anggota IPOOS merayakan ulang tahun organisasi mereka. Lelaki gay dan waria datang dari penjuru kota, bahkan dari kota lain di Jawa. Acara-acara IPOOS memberikan ruang aman untuk para gay dan waria di Jakarta, ruang untuk mengekspresikan diri mereka yang sebenarnya dan menikmati penampilan dan hiburan dari anggota-anggota komunitas. IPOOS menjadi wadah anggotanya untuk menemukan teman, pasangan, dan–yang paling penting–keluarga.
Sekitar satu dekade lebih sedikit setelah IPOOS didirikan, Paul K meninggal dunia pada tahun 2006. Paul meninggalkan satu generasi queer yang nasibnya berubah karena kebaikan hati beliau.
Salah satu figur utama di IPOOS adalah Kak Florens, wakil ketua IPOOS saat ini. Setelah pindah ke Jakarta dari Yogyakarta pada tahun 1994, Kak Florens rutin mengikuti acara kumpul-kumpul di rumah Paul. Di bawah ajaran Paul, dia berlatih menjadi penjahit. Keterlibatannya di IPOOS membuat Kak Florens dipercaya menjadi wakil ketua IPOOS Entertainment, sub-unit IPOOS yang bertugas menyelenggarakan acara-acara hiburan.
Saat kepengurusan Kak Florens, IPOOS menggelar pesta, kontes kecantikan, dan pertemuan secara rutin. Acara-acara ini biasanya diadakan di tiga klub: Diskotek Moonlight, Klimaxx, dan Virgin. Walau terbuka untuk semua orang, kelompok gay dan waria menjadi grup yang paling antusias mengikuti kontes dan acara-acara ini.
Sebagian besar acara IPOOS berupa operet dan live music dengan berbagai macam tema, mulai dari Arabian Night hingga tari tradisional Jawa. Bersama dengan buletin Gaya Betawi yang mereka terbitkan, acara-acara IPOOS juga merupakan wadah berisi harapan, kebanggaan, dan pesan seputar kesehatan seksual.
Selain pesta dan kontes kecantikan, IPOOS juga menyediakan jasa hiburan. Anggota IPOOS membawakan operet dan menari untuk berbagai macam klien, salah satunya Acara HUT Kemerdekaan yang diadakan oleh asosiasi binaragawan di bawah ini. Tampil di acara-acara seperti ini merupakan salah satu sumber pendanaan IPOOS untuk menyelenggarakan acara mereka sendiri.
Untuk informasi lebih banyak tentang karya IPOOS, termasuk peran mereka dalam merespons masuknya HIV ke Jakarta dan publikasi Buletin IPOOS, silakan kunjungi dua pameran virtual kami yang lain.
Kontes kecantikan di Indonesia punya sejarah panjang. Komunitas waria mengadakan dan membuka ruang bagi kelompok mereka sendiri untuk menunjukkan kreativitas, kecantikan, dan bakat mereka di ruang publik. Monica (paling kanan) berkontribusi meminjamkan koleksi foto personalnya untuk arsip kami.
Dari koleksi foto ini, kita bisa melihat keterlibatan Monica dalam kontes kecantikan waria yang diadakan di Jakarta pada awal tahun 90-an, sekaligus sedikit mengintip skena kontes kecantikan pada masa itu.
Monica pindah ke Jakarta pada dekade 1980-an bersama orang tuanya. Ia mulai berkenalan dengan waria lain di beberapa taman dan kafe di Jakarta sebelum akhirnya bertemu dengan mentornya, seorang waria yang lebih senior usianya dari Monica. Beliau memperkenalkan segala seluk beluk skena waria Jakarta pada masa tersebut.
Waria senior ini kemudian mengarahkan Monica agar ia memulai bisnisnya sendiri. Untuk bisa mandiri secara finansial, Monica memilih untuk belajar tata rambut dan akhirnya mendapatkan sertifikat sebagai penata rambut pada tahun 1992.
Monica membuka salon di rumahnya yang terletak di pemukiman padat Jakarta. Selain menyediakan jasa tata rambut dan tata rias, salon Monica menjadi tempat berlabuh bagi para kawan-kawannya. Para tamu berdatangan untuk sekadar ngobrol, makan siang bersama, atau mengadakan arisan. Salon Monica menjadi tempat bagi siapapun, tanpa memandang orientasi seksual dan identitas gendernya, untuk berkumpul dan bersosialisasi.
Saat ini, Monica merupakan anggota aktif kelompok tari dan teater Sanggar Seroja, namun pada tahun 90-an, Monica aktif di berbagai skena kontes kecantikan. Monica seringkali daftar secara mandiri dan di lain waktu, teman-temannya membantu membuatkan kostum untuk acara tersebut. Foto-foto dari Monica ini menyingkap sedikit cerita personal tentang sejauh mana acara kontes kecantikan waria pada tahun 90-an berlangsung di Jakarta.
Para pembaca mungkin mengenali nama merk terkenal dan tempat-tempat bergengsi di foto-foto ini, sebuah kontras tajam terhadap perlakuan masyarakat terhadap waria saat ini. Kontes kecantikan waria masih sering diadakan di beberapa negara di Asia Tenggara, sementara di Indonesia, waria menghadapi realita yang lebih pahit. Keberadaan kelompok radikal yang main hakim sendiri mulai bermunculan sejak runtuhnya Orde Baru di tahun 1998. Serangan terhadap acara-acara LGBTQ+ menjadi semakin sering dalam beberapa dekade belakangan.
Meskipun tidak ada hukum yang melarang aktivitas LGBTQ+ di level nasional, beberapa provinsi dan daerah memberlakukan peraturan daerah yang mengilegalkan homoseksualitas. Larangan terhadap penayangan “laki-laki” yang tidak mengikuti pakem maskulinitas tradisional di media juga diberlakukan–yang menyasar para transpuan yang bekerja di media. Persepsi publik terhadap LGBTQ+ juga berubah seiring dengan politisasi dan demonisasi komunitas dalam beberapa tahun terakhir. Meskipun kontes kecantikan waria masih diadakan di Jakarta hingga saat ini, skala dan visibilitasnya sangat berbeda jauh dengan apa yang pernah terjadi sebelumnya.
Lesbian Jakarta begitu aktif pada tahun 90-an. Dalam waktu singkat, Jakarta menjadi saksi lahirnya beberapa organisasi, jaringan, majalah, dan artikel lesbian. Meskipun demikian, banyak dari organisasi ini mengalami kesulitan dalam menemukan audiens dan menjaga keberlangsungan organisasi mereka.
Gambar-gambar ini berasal dari Tabloid Jakarta Jakarta edisi 21-27 April, 1990.
Rendahnya visibilitas dan keterlibatan lesbian dalam pergerakan aktivis laki-laki gay menjadi isu tersendiri bagi Kelompok Kerja Lesbian dan Gay Nusantara. Pada tahun 1989, Dede Oetomo, salah satu pioner aktivis gay Indonesia “memanggil” para lesbian Indonesia melalui sebuah artikel di majalah Gaya Nusantara-- majalah gay terbesar di Indonesia. Artikel berjudul ‘Lesbian Indonesia: Di Mana Kalian?’ itu bertujuan untuk mengajak lesbian Indonesia ikut terlibat.
Tiga tahun kemudian, Dede mendapatkan respon mendetail dari Rosawita, seorang perwakilan Indonesia di jaringan regional lesbian baru yang bernama Asian Lesbian Network (ALN).
Di artikelnya yang berjudul Di Mana Para Lesbian Indonesia?”, Rosawita menjelaskan bahwa, sebagai perempuan, lesbian di Indonesia dibebani lebih banyak ekspektasi sosial dibanding lelaki. Ini berakibat pada sulitnya seorang lesbian untuk berjejaring dan berorganisasi sebebas lelaki gay. Tetapi, tradisi lokal melihat keakraban fisik antara perempuan sebagai sesuatu yang normal. Norma di masyarakat menganggap kalau dua perempuan bergandengan tangan, berpelukan, atau saling berciuman di pipi sebagai sesuatu yang lumrah. Ini membuat lesbian Indonesia bisa “tidak terlihat tanpa bersembunyi”.
Menurut Rosawita, lesbian di Indonesia tidak harus membuka diri (coming out) agar bisa diterima oleh masyarakat. Hal yang penting adalah mereka harus punya keberanian dan martabat untuk hidup sebagai seorang lesbian. Di akhir artikelnya, Rosawita memanggil para lesbian di Indonesia untuk menghubungi dia agar bisa memulai diskusi untuk mendirikan sebuah organisasi lesbian.
Satu tahun berikutnya pada 1993, jaringan kerja dan kontak lesbian bernama Chandra Kirana terbentuk. Nama tersebut diambil dari sebuah legenda Jawa tentang seorang perempuan yang jatuh cinta dengan perempuan lain. Jaringan ini dibentuk oleh tiga orang lesbian yang tinggal di Jakarta.
Chandra Kirana tidak dibentuk sebagai sebuah organisasi, melainkan dibentuk sebagai jaringan kontak dan kelompok kerja dengan tujuan untuk menghubungkan sebanyak mungkin lesbian di Indonesia. Kelompok ini tidak memiliki sistem keanggotaan; semua lesbian yang tinggal di Indonesia bisa datang dan bergabung dengan mereka.
Kelompok Kerja Chandra Kirana (KKCK) mempublikasikan beberapa buletin berjudul Gaya Lestari (dalam bahasa Indonesia) dan Chandra Kirana newsletter (dalam bahasa Inggris). Chandra Kirana juga berjejaring dengan organisasi regional dan internasional, termasuk Asian Lesbian Network (ALN), International Lesbian and Gay Association (ILGA), dan International Gay and Lesbian Human Rights Commission (IGLHRC).
Di penghujung dekade, Jakarta mengalami pergolakan besar. Krisis moneter yang melanda Asia pada tahun 1997 menimbulkan ketegangan seiring dengan anjloknya perekonomian dan nilai tukar karena hiperinflasi. Di ibu kota, kerusuhan terjadi pada tahun 1998. Para protestor, termasuk dari komunitas LGBTQ+, meminta Suharto untuk mundur dan menghentikan Orde Baru yang telah berlangsung sejak 1967. Kerusuhan dan kekerasan meletup selama tiga minggu sampai akhirnya Suharto mundur dari jabatan presidennya pada 21 Mei 1998. Wakil presidennya saat itu, B.J Habibie, menggantikan posisinya. Indonesia kemudian memasuki era baru, yaitu era Reformasi.
Banyak aktivis menaruh harapan besar bahwa dengan adanya Reformasi, sebenar-benarnya demokrasi dan kebebasan berekspresi bisa berlangsung di Indonesia. Namun, segera setelah Reformasi terjadi, komunitas LGBTQ+ mengalami hal sebaliknya. Kelompok konservatif yang sebelumnya ditekan oleh kediktatoran menggunakan kebebasan baru mereka untuk menghentikan acara publik yang diadakan oleh kelompok-kelompok LGBTQ+ dan merisak acara-acara pertemuan komunitas. Serangan ini termasuk pengepungan dan intimidasi terhadap aktivis September Ceria di tahun 1999 dan kekerasan dalam acara besar bertema HIV di tahun 2000.
QIA sangat antusias untuk mendengar kabar tentang anggota komunitas LGBTIQ+ yang terlibat di pergerakan Reformasi. Kami akan dengan senang hati membantu merekam cerita dan mengumpulkan materi yang berasal dari masa ini. Mohon jangan sungkan untuk menghubungi QIA untuk berbagi pengalaman atau materi dari masa itu.
Queer Indonesia Archive menyampaikan terima kasih karena Anda telah bergabung dalam perjalanan salah satu koleksi kami. Jika Anda ingin melihat koleksi lainnya dalam pameran ini, sila kunjungi laman kami.
Pameran ini tidak akan terwujud tanpa bantuan Dede Oetomo, Oma Gayatri, Oom Marcel L, Ibu Florens, Mak Chun, Kak Monica, dan banyak lainnya yang telah terlibat dalam penyusunan dan membantu pameran ini.
Terima kasih khusus untuk Tom Boellstorf atas bantuan digitasi sebagian besar materi ini selama beliau berada di Indonesia, sehingga pameran ini bisa terwujud. QIA saat ini sedang mencari edisi asli dari majalah-majalah ini untuk kami redigitasi. Hubungi kami jika Anda memiliki materi terkait atau materi lain yang mungkin kami lewatkan.
Jika Anda memiliki pertanyaan untuk konten pameran ini atau saran rekomendasi materi untuk koleksi Queer Indonesia Archive, kirim email melalui kontak kami di info@qiarchive.org
This exhibition is a proud participant in the Southeast Asia Queer Cultural Festival 2021 - Please see their website for their full program including
Kami dengan bangga menyampaikan bahwa pameran ini merupakan partisipan dari Southeast Asia Queer Cultural Festival 2021